Kamis, 27 Agustus 2009

Pengertian Fundamentalisme, Radikalisme dan Radikalisme Islam







Beberapa tahun belakangan ini, isu radikalisme agama sangat menguat dan mengguncangkan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kelompok agama fundamental berjuang sekuat tenaga dan dengan segala cara, memperjuangkan visi dan misi mereka, tanpa peduli akan kenyataan dalam masyarakat bahwa bangsa ini adalah pluralis. Mereka bahkan berkeinginan untuk mendirikan negara Islam di Indonesia.Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi).Paham fundamentalisme keagamaan adalah paham politik yang dianut suatu negara atau pemerintahan, dimana agama dijadikan sebagai basis ideologi dan dimana agama dipakai sebagai pusat pemerintahannya dan pemimpin tertinggi negara tersebut haruslah seorang petinggi agama.

Peristiwa Radikalisme Islam

Radikalisme, terutama yang berkedok agama Islam menjadi perhatian luas masyarakat internasional, termasuk kaum agamawan, seiring dengan merebaknya serangkaian aksi kekerasan sejak peristiwa Black Tuesday World Trade Center (WTC) 11 September 8 tahun yang lalu. Dan Indonesia juga sempat menjadi ajang unjuk gigi aksi terorisme seperti yang terjadi dalam pengeboman Hotel JW Marriot, tragedi Legian Bali, kasus Poso di Sulawesi dan lain-lainnya. Aksi tak berperikemanusiaan ini gagal dicegah oleh aparat keamanan sehingga orang-orang yang tak berdosa kehilangan nyawa mereka terus bertambah.
Mari kita ingat kembali proses pengadilan kasus kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah aktivis FPI (Front Pembela Islam), salah satu paham radikalisme Islam, dalam peristiwa "1 Juni" di lapangan Monas Jakarta telah membuahkan sejumlah kekerasan baru. Setelah drama intimidasi terhadap sejumlah aktivis Aliansi Kebangsaan bagi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), antara lain Nong Darol Mahmada dan Muhammad Guntur Romly, belakangan terjadi tawuran antara aktivis FPI dengan aktivis Banser Ansor, kelompok pengamanan organisasi di bawah payung Nahdlatul Ulama (NU). Kelompok ini diduga bergerak atas permintaan dari aktivis AKKBB yang membutuhkan perlindungan keamanan
Menurut K.H. Hasyim Muzadi, Ketua Umu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), mengungkapkan bahwa munculnya radikalisme dalam Islam disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pengertian seseorang terhadap Islam dan penyalahgunaan Islam untuk perorangan. Kedua, Islam digunakan sebagai pembenaran tanpa mengakui eksistensi agama yang lain. Kelompok radikal mengklaim (truth claim) agama dan kelompoknya yang paling benar. Radikalisme Islam bahkan berakar jauh dalam sejarah, yakni sejak Khulafaurrasyidin dengan pecahnya Islam menjadi beberapa kelompok seperti Khawarij, Syiah, Mu’tazilah dan sebagainya.
K.H. Hasyim Muzadi juga berkata bahwa terorisme sesungguhnya terkait dengan beberapa masalah mendasar, antara lain, pertama, adanya wawasan keagamaan yang keliru. Kedua, penyalahgunaan simbol agama. Ketiga, lingkungan yang tidak kondusif yang terkait dengan kemakmuran dan keadilan. Kempat, faktor eksternal yaitu adanya perlakuan tidak adil yang dilakukan satu kelompok atau negara terhadap sebuah komunitas. Akibatnya, komunitas yang merasa diperlakukan tidak adil bereaksi.
Dominasi Amerika atas kegiatan politik, ekonomi, sosial dan budaya telah merusak tatanan umat Islam. Baginya, Amerika merupakan simbol hegemoni Barat yang harus dilawan karena telah melakukan dominasi kerusuhan di dunia Islam. Setidaknya kata Jaenuri, Amerika dan sekutunya telah merusak kedamaian Islam di Palestina dan negara-negara Islam di penjuru dunia.[1] Sementara Syafi’i mengungkapkan bahwa gejala radikalisme agama yang berkembang di masyarakat ditandai oleh beberapa hal. Pertama, adalah kecenderungan untuk menafsirkan teks secara leterlek dengan mengabaikan konteks. Kedua, adanya orientasi pada penegakan syariah, atau syariah minded. Dan ketiga, adalah adanya kecenderungan anti pluralisme. Kecenderungan seperti ini menampakkan adanya pengaruh gerakan salafisme dari Timur Tengah.

Selasa, 25 Agustus 2009

Jangan Biarkan Ibu Pertiwi Menangis Teroris Meringis

64 tahun Indonesia MERDEKA!!!
Sudahkah kita merasa hidup aman di negeri sendiri?

Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) merupakan hak asasi yang harus dijunjung tinggi oleh setiap insan di negeri ini dan dilindungi oleh pemerintah terutama aparat penegak hukum.

Dengan terbebas dari rasa takut, kita memperoleh perasaan aman dan tentram. Rasa aman tersebut merupakan kebutuhan hakiki kita sebagai manusia, modal dasar masyarakat untuk tumbuh dan berkembang, membangun dan mensejahterakan.

Tanpa rasa aman, jiwa kita diselimuti teror, selalu gelisah, terkukung ketakutan, tidak dapat melakukan kegiatan dengan bebas.

Tanpa rasa aman, hidup kita penuh kecurigaan, saling tidak percaya, mudah diprovokasi, saling tuding, mudah beradu tanding.

Tanpa rasa aman, pikiran, tenaga dan waktu kita diisi dengan kecemasan, rasa takut yang akut akan mengarah ke perpecahan, kehancuran bangsa ini.

Kebebasan dari rasa takut itulah yang dicabut oleh berbagai aksi pemboman. Ledakan bom tersebut tak hanya mampu menggetarkan tiang gedung, meluluhlantahkan dinding, membuat bara api, menerbangkan kaca jendela dan mengantarkan nyawa orang diseputarnya.

DERADIKALISASI TERORISME by Dr.PETRUS REINHARD GOLOSE


RESENSI BUKU


Judul Buku: Deradikalisasi Terorisme


Penulis: Dr. Petrus Reinhard Golose


Penerbit: YPKIK, Jakarta


Tahun Terbit: 2009


Tebal: xvii + 143 halaman



Pasca peledakan bom bunuh diri pada 17 Juli 2009 di Hotel J.W Marriot dan Hotel Ritz Carlton, Jakarta, isu terorisme kembali mencuat sebagai isu utama di masyarakat. Berbagai prediksi dan spekulasi mengenai penanganan terorisme beredar luas di masyarakat. Berbagai respon positif maupun pandangan yang pesimis bergulir dan menjadi konsumsi publik. Akan tetapi, masyarakat perlu mengetahui keadaan sebenarnya dari pola penanganan terorisme oleh Polri. Oleh karena itulah Dr. Petrus Reinhard Golose berupaya mengungkap proses deradikalisasi terorisme yang selama ini dijalankan, sebagaimana dituliskan dalam karyanya. Keterlibatan beliau dalam proses penanganan terorisme, memberikan data-data yang komprehensif mengenai penanganan terorisme, sehingga buku ini jauh dari berbagai macam spekulasi. Penulis juga mengemukakan saran-saran untuk pengembangan deradikalisasi terorisme di masa depan. Wajarlah jika kemudian dikatakan bahwa detektif itu sama dengan peneliti, dimana hasil-hasil temuan di lapangan dikaji dengan ilmu pengetahuan untuk menciptakan sebuah solusi atas persoalan dalam masyarakat, dalam hal ini terorisme.
Persoalan terorisme merupakan suatu persoalan yang multi kompleks. Gerakan terorisme di Indonesia cendrung mengatasnamakan suatu agama tertentu, dengan pengajaran-pengajaran yang telah diselewengkan. Isu agama merupakan salah satu isu yang senstif di negeri ini, apabila penanganan terorisme tidak dilakukan secara hati-hati maka akan menimbulkan kesalahpahaman yang berujung dengan konflik horisontal di masyarakat. Di satu sisi, kelompok teroris melakukan perekrutan terhadap generasi muda untuk dijadikan alat untuk melakukan aksi-aksi terorisme, sayangnya masyarakat jarang sekali mengamati pola-pola yang demikian, karena proses perekrutan sering kali bertopengkan nilai-nilai agama. Paling disayangkan ketika teroris justru mendapat simpati di masyarakat, sebagaimana terjadi pada waktu tiga pelaku peledakan bom Bali I dieksekusi mati, di masyarakat beredar pemahaman bahwa mereka adalah pejuang, atau syuhada. Khusus dalam bidang penegakan hukum, penjatuhan hukuman yang berat bagi pelaku terorisme tidak cukup, dalam suatu kasus, mereka melakukan perekrutan di dalam penjara. Kemudian penanganan terorisme melalui penegakan hukum pidana saja tidaklah cukup, karena doktrin teroris telah merasuk hingga ke akar rumput dan menjadi bahaya laten dalam masyarakat. Sehingga dibutuhkan suatu solusi yang komprehensif dan menjangkau secara luas.
Deradikalisasi terorisme, telah dilaksanakan sejak tahun 2005, namun belum ada konsep yang jelas. Sejak dilaksanakannya program deradikalisasi terorisme, jumlah aksi-aksi terorisme yang membahayakan masyarakat, menurun drastis. Walaupun pada tahun 2009, segala jerih payah yang telah dilakukan, seolah tercoreng. Namun satu kasus tersebut bukan berarti program ini memiliki kesalahan di dalam pelaksanaannya, namun perlu suatu pengembangan, sehingga program ini dapat berjalan lebih baik. Dalam tulisannya Dr. Petrus Reinhard Golose menawarkan suatu konsep yakni, humanis, soul approach dan menyentuh akar rumput.

Humanis, berarti upaya pemberantasan terorisme haruslah sesuai dengan upaya penegakan Hak Asasi Manusia, selain itu pemberantasan terorisme harus mampu menciptakan kesejahteraan, kesetaraan serta keadilan bagi seluruh masyarakat, bagi para tersangka maupun terpidana terorisme. Sehingga dalam menangani teroris, perlu pemahaman mendalam mengenai siapa teroris itu, termasuk berbagai faktor psikologis dan sosiologis dari para teroris. Dengan terpahaminya berbagai faktor manusiawi yang melatarbelakangi aksi-aksi terorisme hingga bahkan keberanian pelaku untuk melakukan aksi bom bunuh diri, maka dapat dikembangkan suatu program reorientasi motivasi dan re-edukasi kepada tahanan, narapidana, keluarga, dan simpatisan terorisme.

Soul approach pemberantasan terorisme dilakukan melalui suatu komunikasi yang baik dan mendidik antara aparat penegak hukum dengan para tersangka maupun narapidana terorisme, bukan dengan cara-cara kekerasan dan intimidasi. Adanya suatu konsep dimana aparat penegak hukum secara sadar memperlakukan tahanan ataupun narapidana terorisme, selayaknya manusia pada umumnya dan tidak membangun suatu kesenjangan, dengan adanya suatu kedekatan secara psikis, program re-orientasi dan re-edukasi dapat terjadi melalui suatu komunikasi yang positif. Secara khas pelaksanaan deradikalisasi terorisme di Indonesia adalah dikembangkannya suatu pemberdayaan para mantan anggota kelompok teroris yang telah sadar, untuk turut menyadarkan rekan-rekan mereka yang masih terlibat ataupun belum sadar.

Menyentuh akar rumput, program ini tidak hanya ditujukan kepada para tersangka maupun terpidana terorisme, akan tetapi program ini juga diarahkan kepada simpatisan dan anggota masyarakat yang telah terekspose paham-paham radikal, serta menanamkan multikulturalisme kepada masyarakat luas. Merupakan pengembangan yang mutakhir dari program deradikalisasi terorisme. Patut disadari bahwa pengananan terorisme tidak cukup hanya di permukaan, patut disadari bahwa para teroris berhasil menyusup ke masyarakat dan menebarkan doktrin-doktrin yang mendukung kegiatan kelompok teroris, termasuk merekrut generasi muda untuk bergabung dengan kelompok teroris. Oleh karena itu perlu suatu program yang menyentuh masyarakat luas, termasuk bagi keluarga teroris, simpatisan, maupun masyarakat yang rentan terpengaruh oleh doktrin teroris. Dengan demikian de-ideologisasi wajib menjadi suatu perhatian, dimana upaya penanganan terorisme juga haruslah mampu menghentikan penyebaran dan pendalaman doktrin dan ideologi yang dianut oleh kelompok teroris.

Secara keseluruhan program ini menuntut suatu pengembangan yang melibatkan multi pihak. Tidak hanya aparat penegak hukum, berbagai elemen pemerintah di berbagai tingkatan harus diberdayakan dalam mendeteksi dan menangani berbagai kegiatan terkait dengan terorisme. Peranan masyarakat juga sangat penting dalam hal ini, karena sesama anggota masyarakat dapat saling mengawasi dan saling mengarahkan sehingga terorisme dapat dihentikan dari awal. Dengan adanya kerjasama dari berbagai elemen di negara ini, diharapkan Indonesia yang aman, tentram, dan damai dapat terwujud.

Senin, 03 Agustus 2009

PEACE, LOVE & UNITY

Terorisme sejatinya telah menunjukkan warnanya. Mereka telah banyak menelan korban dan menggoyahkan perdamaian yang telah ada di bumi pertiwi tercinta ini dan membuat luka bagi bangsa indonesia.Mereka bermaksud menyakiti pihak-pihak dan bangsa-bangsa lain yang mereka tidak sukai. Faktanya mereka justru menyakiti teman,saudara,keluarga dan bangsa mereka sendiri.
Ketentraman telah tercabik-cabik,meninggalkan keburukan pada citra bangsa indonesia diluar negeri yang berakibat hancurnya pariwisata di indonesia sehingga devisa kunjungan di indonesia menjadi berkurang.Mereka juga telah merusak nama baik islam, menyerang, melukai dan membunuh muslim dan orang-orang yang tidak bersalah dengan dalih bahwa mereka melakukan jihad (konsep yang diajarkan dalam islam untuk mati dalam membela kebenaran).
Kita harus bersatu dalam kemajemukan idup,kita harus bersatu dalam cinta kasih untuk memerangi dan menyadarkan mereka. Terorisme merupakan musuh bersama.Untuk itu diperlukan peran serta kita semua.

KITA HARUS BERSATU MENGEMBALIKAN KEMBALI KEDIGDAYAAN BANGSA INDONESIA!! BANGKITLAH INDONESIA.

Kamis, 30 Juli 2009

Yayasan Cinta Damai

Bangsa Indonesia telah mengalami penderitaan akibat berbagai aksi pemboman yang menelan korban jiwa, menciptakan kerugian materi, yang tidak saja mampu meluluh- lantahkan gedung tapi juga merontokan rasa aman dan tentram dalam diri anak bangsa.

Dari tahun 2000 sampai tahun 2009 telah terjadi aksi pemboman paling tidak sebanyak 21 kali. Pemboman yang terakhir terjadi di JW Marriot dan Ritz Carlton Mega Kuningan pada tanggal 17 Juli 2009. Kebijaksanaan pemerintah atas aksi pemboman selama ini, lebih mengarah kepada penegakan hukum melalui penerapan UU No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 (Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme) menjadi undang-undang. Dalam penegakan hukum tersebut, sampai akhir tahun 2008, terdapat kurang lebih 437 orang yang ditangkap sehubungan dengan tindak pidana terorisme. Pada November 2008, telah dijalankan hukuman mati terhadap 3 orang tahanan teroris yaitu: Imam Samudera, Amrozi, dan Mukhlas, ketiganya terkait dengan serangan Bom Bali I 12 Oktober 2002. Hingga saat ini, masih meringkuk di bilik jeruji senjumlah 158 narapidana teroris.

Serangan bom yang terjadi merupakan puncak dari gunung es, dimana dibawahnya terdapat berbagai macam permasalahan yang terpendam. Permasalahan tersebut diasumsikan sebagai pemicu gerakan radikal seperti: kemiskinan, rendahnya kualitas pendidikan yang menciptakan generasi dengan pola pikir yang sempit, apatisme terhadap pembangunan, kurangnya kesadaran berpolitik, pencarian jati diri, keterasingan dan penyelewengan terhadap ajaran agama. Disamping itu ada pula propaganda dan publikasi yang begitu gencar melalui berbagai kegiatan dan perkumpulan berkedok keagamaan dan maraknya media bermuatan paham radikal seperti: tabloid, pamflet, buku, majalah dan situs internet.

Melihat peliknya fenomena ini, penyelesaian secara hukum tidak akan pernah memadai. Lazuardi Birru dengan segala keterbatasannya tergerak untuk turut menciptakan masyarakat ber-bhinneka yang harmonis, hidup aman, tentram dan damai. Lazuardi Birru merupakan organisasi sosial, non profit dan independen, tidak terafiliasi dengan partai politik manapun. Lazuardi Birru lebih memfokuskan diri untuk melaksanakan kampanye sosial agar generasi muda menghargai hakekat perdamaian, menjauhi kekerasan dan menghindari arus gerakan radikal melalui berbagai program preventif dan edukatif.